Seusai makan Jocie mulai merapikan meja makan, hal yang biasa ia lakukan sejak kecil. Tidak pernah ada pembantu. Dia terbiasa hanya berdua dengan Dadnya.
"Perlu kubantu?" tanya Drew dengan lirikan genit.
"Haha," Jocie tertawa, terlihat berpikir, lalu meberikan piring-piring kotor yang ada di tangannya kepada Drew. "Kurasa aku sangat membutuhkan bantuanmu," Jocie tersenyum nakal.
"Hei," Drew ingin berkomentar.
"Kau keberatan?" tanya Jocie menggoda.
"Oh, tentu tidak, aku bisa melakukannya," Drew pura-pura terlihat yakin.
Arthur menuruni tangga terburu-buru. Putrinya sudah memahami perilaku ayahnya yang tidak mungkin diam saja di rumah. Bahkan di hari pertama mereka pindah. Ada saja pekerjaannya. Harus mengurus inilah, itulah, dan banyak hal.
"Aku harus menemui temanku dulu, untuk memulai pekerjaanku besok aku harus.." jelas Arthur terburu-buru dan langsung disela oleh Jocie," Aku tahu Daddy sayang. Pergilah, aku akan baik-baik saja," Jocie tersenyum.
"Benarkah?" Arthur mulai melihat putrinya seperti bangkit dari keterpurukan. Biasanya Jocie akan mengambek sampai pagi.
"Tentu Daddy," Jocie tersenyum. " Apalagi Drew akan membantuku mencuci piring kotor, dia sendiri yang bilang dia sanggup,"
Drew membelalakan matanya dan hawa-hawa protes diwajahnya tercium Jocie." Kau akan membantuku kan, Drew yang tampan???" goda Jocie.
Tidak ada pilihan lain, "Ya, Kau tenang saja Dad, aku akan membereskan semuanya," Drew tersenyum dengan paksa.
Arthur tertawa melihat kelakuan dua buah hatinya. "Okey, kalian baik-baik di rumah ya, aku usahakan tidak terlalu lama," []
Jocie selesai membersihkan meja makan. Dan tampaknya Drew masih di westafel dengan setumpuk piring kotor. Ia tersenyum, rasanya ia mendapat kemenangan besar. Entah mengapa rasanya senang bisa mengerjai Drew.
Ah,lelah juga, pikir Jocie
Ia mulai menaiki tangga untuk istirahat di kamarnya. Untuk menuju kamarnya, ia pasti melewati kamar Drew. Jocie berhenti dihadapan pintu kamar kembarannya. Pintu masih tampak polos, karena masih baru, belum ada sesuatu yang dipasang ataupun ditempelkan disana. Jiwa jocie mulai merasa ingin masuk ke kamar lelaki itu. Perlahan tangannya memegang gagang pintu. Matanya melirik-lirik mencari situasi aman. Ada dua kemungkinan, mungkin kamar ini dikunci, atau tidak. Dan Jocie memejamkan mata sambil mencoba membuka pintu kamar itu
Krek.
Jocie membuka matanya. Pintu terbuka! Perlahan Jocie melangkahkan kakinya memasuki kamar Drew. Dan... wow, pikirnya. Selama ini ia selalu berpikir kamar cowok akan selalu dipenuhi dengan pajangan-pajangan poster band dan sebagainya. Tapi kamar Drew tidak, seperti kamar 'normal' pada umumnya. Ia tersenyum.
Ah, mungkin drew belum sempat memasangnya, pikirnya.
Kasur Drew sangat rapi. Jocie meraba bedcover yang diatas kasur Drew. ia mulai duduk, dan mengamati meja belajar Drew. Ternyata Drew suka memajang foto. Deretan foto itu... Jocie mengambil salah satu foto disana. Happy Family. Begitu tulisan di bingkai foto tersebut. Berisi seorang wanita muda, Dadnya, seorang bocah laki-laki dan perempuan. Mereka tampak bahagia. Jocie mencoba menyelami foto tersebut. Ia bahkan tak ingat kapan foto itu diambil,dia masih terlalu keil saat itu.
Mereka berempat tersenyum. Jocie pun tersenyum. Tapi kini ia sadar, senyum asli hanya milik dirinya dan Drew. Tidak mungkin begini jadinya, tidak mungkin ia hanya tinggal dengan Dad bertahun-tahun jika senyuman Dan dan Mom di foto ini adalah senyuman yang tulus.
Jocie, apakah kau merasa dirimu normal? Tanyanya pada dirinya sendiri. []
Selasa, 29 Maret 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar